Zakat Mandiri&Berkelanjutan Perusahaan (ZMPB): Skema Pengentasan Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Sekaligus Bentuk Baru Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)

essay ini merupakan juara I pada lomba essay season6 yang diadakan oleh SES-C FEM IPB

Kemiskinan dan timpangnya disribusi pendapatan sudah menjadi isu umum di berbagai negara di belahan dunia. Kedua hal tersebut  telah menjadi masalah yang tidak dapat terselesaikan bagi sebagian negara di dunia ini terutama kelompok negara berkembang (developing countries), meskipun mereka telah menerapkan berbagai kebijakan ekonomi yang sejalan dengan teori ekonomi terkini yang diadopsi dari eropa dan amerika. Teori klasik yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan dapat menyelesaikan masalah kemiskinan serta menciptakan pemerataan distribusi pendapatan melalui skema trickle down effect-nya seolah tidak relevan lagi untuk terus digunakan sebagai pegangan.

Sebagian ekonom kini berpendapat bahwa memang pertumbuhan ekonomi dibutuhkan sebagai syarat yang dibutuhkan (necessary condition) untuk pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Namun sekedar pertumbuhan ekonomi saja belum memenuhi syarat kecukupan (sufficient condition) untuk menyelesaikan kedua masalah tersebut.  Fakta di lapangan menunjukkan, berbagai negara di dunia yang terus mengalami pertumbuhan positif, tidak mampu mengimbanginya dengan pengentasan kemiskinan dan pemerataan distribusi pendapatan. Tidak perlu mengambil contoh terlalu jauh, lihat saja Indonesia, dari sejak tahun 2000-2008 perekonomian Indonesia terus menerus mengalami pertumbuhan dengan angka rata-rata mencapai 5.2% per tahunnya sebagaimana diungkapkan oleh menteri perindustrian MS Hidayat [1]. Namun di sisi lain, angka kemiskinan dari tahun 2000-2008[2] hanya turun 3,72% dari angka 19,14% menjadi 15,42%, yang mana hal ini berarti secara rata-rata angka kemiskinan hanya turun sekitar 0.465% per tahunnya.

Fakta di atas jelas-jelas menunjukkan bahwa kemiskinan menjadi hal yang sangat sulit untuk diatasi di Indonesia, begitu juga dengan ketimpangan pendapatan yang terjadi sedemikian besar. Di satu sisi, seorang direksi bank swasta seperti bank danamon dan BCA dapat meraup kurang lebih 1 milyar dalam sebulan[3], pada sisi lain terdapat kurang lebih 15 juta penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan yang di tetapkan oleh BPS, yaitu mereka yang memiliki pendapatan sekitar Rp 211.000  per bulan[4]. Bahkan jika kita menggunakan standard kemiskinan Bank Dunia yaitu $2 perhari, di perkirakan lebih dari 50% atau 100 juta penduduk Indonesia akan menyandang status ”miskin”. Hal ini tentu sangat memprihatinkan bagi negara dengan penganut Agama Islam terbesar di dunia ini. Prinsip ”Rahmatan lil alamiin” atau kesejahteraan bagi siapa saja dari agama tersebut seolah tidak lagi dipegang oleh para penganutnya. Padahal Nabi dari agama tersebut dengan begitu keras menekankan akan pentingnya kepedulian terhadap sesama, seperti termaktub dalam hadis yang mengatakan bahwa terlarang bagi umat muslim untuk tidur dalam keadaan kenyang sedangkan tetangga kita sedang kelaparan.

Seperti telah menyadari betapa penting dan eratnya hubungan pemerataan distribusi pendapatan dengan pengentasan kemiskinan, Islam telah memiliki instrumen tersendiri untuk menyelesaikan masalah tersebut, yang bahkan menjadi salah satu dari lima pilar utama dari agama tersebut, yaitu zakat. Zakat merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang dianggap mampu menurut kriteria Islam untuk mengeluarkan sebagian kecil dari proporsi hartanya yaitu 2,5% untuk disalurkan kepada muslim lain yang berkekurangan secara finansial. Umar bin Abdul Aziz dan Harun Al Rasyid merupakan contoh dari pemimpin Islam yang telah berhasil membuktikan betapa efektifnya instrumen ini dalam memeratakan dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Pada masa kini di Indonesia, kesadaran untuk membayar zakat semakin berkurang, seiring dengan berkurangnya ketaatan para pemeluk agama Islam akan agama mereka. Padahal potensi zakat begitu besar apabila dapat dikelola dengan benar. Jikalau ada yang masih memiliki kesadaran untuk berzakat, maka mereka cenderung untuk menyalurkannya secara perseorangan dan tidak terkoordinir. Hal ini terutama disebabkan ketidak percayaan mereka akan lembaga pengelola zakat dan rasa khawatir akan adanya praktik korupsi dalam penyaluran zakat tersebut. Akibatnya zakat hanya memberikan ”ikan” kepada kaum miskin, bukan kail dan hanya akan memberikan efek yang bersifat sesaat saja.

Di sisi lain para investor, pemilik modal dan direksi perusahaan besar yang merupakan peraup utama dari kue perekonomian Indonesia cenderung memiliki kesadaran berzakat atau kesadaran sosial yang minim jika mereka merupakan non muslim. Keadaan menjadi semakin parah mengingat minimnya regulasi yang mengatur tentang kewajiban perusahaan dalam melakukan tanggung jawab sosial (CSR) mereka. Belum ada undang-undang khusus yang mengatur mengenai kegiatan CSR perusahaan. Kewajiban untuk melakukan CSR hanya diselipkan pada satu pasal pada UU no 40 tahun 2007 mengenai Perseroan  Terbatas, yaitu pada pasal 74, dan tentu penjelasan di pasal tersebut bersifat sangat umum serta tidak adanya standar yang khusus . Akibatnya tiap perusahaan melakukan bentuk CSR dengan caranya masing-masing tanpa adanya arah bersama yang jelas dari CSR tersebut.

Berdasarkan permasalahan yang ada dan telah dipaparkan sebelumnya, essay ini berisi suatu usulan dan saran mengenai skema untuk menjadi solusi bagi permasalahan kemiskinan serta ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi di Indonesia, dengan menggunakan zakat sebagai konsep dasar yang di sebut dengan ”Zakat Mandiri&Berkelanjutan Perusahaan” atau demi efisiensi kita singkat dengan ”ZMBP”.

Secara umum ZMBP dapat kita anggap sebagai zakat yang dikeluarkan oleh perusahaan secara langsung, tidak melalui lembaga penyalur zakat (mandiri) dan memiliki efek positif terhadap peningkatan dan pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat secara berkelanjutan. Pada skema ZMBP ini, zakat disalurkan secara mandiri dengan tujuan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas, sebagaimana kita ketahui bahwa seringkali sektor swasta memiliki kapabilitas untuk beroperasi lebih efisien dari pemerintah.

Pada ZMBP terdapat dua komponen likuiditas yang kemudian akan disalurkan kepada para penerimanya. Yang pertama adalah dari proporsi profit bersih perusahaan sebesar 2,5%. Seperti kita tahu, bahwa profit perusahaan merupakan revenue perusahaan setelah dikurangi oleh semua cost yang ada. Profit perusahaan juga bisa kita artikan sebagai penghasilan dari para pemilik perusahaan (shareholder), yang kemudian di alokasikan lagi apakah akan langsung dibagikan kepada shareholder atau ditahan dan diputar kembali pada kegiatan operasional perusahaan (retained earnings). Maka sesungguhnya komponen pertama ini merupakan zakat yang kita ambil dari para shareholder atau pemilik perusahaan.

Komponen kedua yang merupakan sumber likuiditas dari ZMBP yang akan disalurkan adalah dari proporsi gaji seluruh karyawan perusahaan dari mulai direksi sampai pada karyawan yang penghasilannya telah memenuhi nisab. Komponen kedua ini diperlukan, karena gaji karyawan dimasukkan dalam komponen biaya atau cost dalam perusahaan, sehingga jika kita hanya menarik dana ZMBT dari profit, maka itu hanya akan menarik zakat dari para shareholder, sedangkan para direksi dan karyawan akan terabaikan.

Setelah dana dari dua komponen itu terkumpul, maka kemudian perusahaanlah yang akan menyalurkan dana tersebut secara mandiri untuk diberikan kepada mereka yang memenuhi kriteria untuk menerimanya, namun tidak dalam bentuk ”ikan” melainkan dalam bentuk ”kail”.  Dengan kata lain perusahaan harus memberikan dana tersebut kepada pihak yang membutuhkan sebagai modal untuk membuka usaha baik berdagang ataupun bentuk usaha lainnya. Tidak hanya itu, harus ada semacam pendampingan yang dilakukan oleh perusahaan untuk memastikan bahwa uang yang disalurkan tidak kemudian menjadi sia-sia karena minimnya pengetahuan dan pengalaman si penerima dalam menjalankan usaha. Oleh karena itulah, secara tidak langsung, skema ini mensyaratkan perusahaan untuk membentuk semacam divisi yang khusus mengelola dana ini, dari mulai penarikan, penyaluran dan pendampingan dalam penggunaan dana tersebut.

Tentu kita tahu tidak semua pemilik modal serta karyawan perusahaan yang ada di negeri ini adalah muslim, maka dari itu skema ZMBP ini kemudian juga di tujukan untuk menjadi bentuk CSR perusahaan. Sehingga bagi mereka yang bukan muslim, ketika mereka menyisihkan pendapatan mereka melalui skema ini, itu adalah untuk memenuhi kewajiban mereka untuk memenuhi tanggung jawab sosial kepada stakeholder mereka. Sedangkan bagi mereka yang muslim, selain untuk memenuhi tanggung jawab sosial perusahaan, hal ini juga untuk memenuhi kewajiban mereka kepada Allah SWT. Oleh karena itu jika kemudian skema ini tidak memenuhi kriteria secara fiqih untuk diterapkan sebagai salah satu skema pelaksanaan zakat, pemerintah dapat menjadikannya sebagai bentuk standar dari tanggung jawab sosial perusahaan.

Meskipun skema ZMBT ini dilakukan secara mandiri oleh perusahaan, namun tidak berarti pemerintah tidak memiliki peran apapun. Selain harus menyediakan regulasi yang sesuai untuk menjalankan skema ini, pemerintah juga bertugas untuk menyediakan data masyarakat yang berhak di seluruh wilayah Indonesia untuk menjadi penerima skema ZMBT ini. Selain itu pemerintah juga yang mengatur pengalokasian daerah mana yang menjadi prioritas untuk dijadikan sasaran penerima dana tersebut dan mana daerah yang dapat ditangguhkan. Hal ini penting selain untuk mencegah adanya moral hazard dari perusahaan agar mereka tidak menyalurkan dana tersebut kepada orang-orang yang memiliki keterkaitan dengan shareholder ataupun karyawan perusahaan yang sebenarnya tidak pantas untuk menerima dana tersebut, namun juga penting untuk menjamin meratanya distribusi serta perkembangan ekonomi yang terjadi di wilayah di Indonesia.

Zakat Mandiri&Berkelanjutan Perusahaan diharapkan dapat menjadi sebuah solusi untuk meningkatkan serta memeratakan tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Meskipun zakat perusahaan sendiri masih menjadi perdebatan di kalangan ulama, namun skema ini dapat dipandang dari sudut yang lain untuk dijadikan sebuah standar baru bagi perusahaan untuk melakukan tanggung jawab sosial mereka. Meskipun pada praktiknya hampirsemua tahap pelaksanaan skema ZMBT ini dilakukan secara mandiri oleh perusahaan, namun pemberlakuan skema ZMBT ini tetap di dalam arahan pemerintah baik dalam hal kriteria penerima, dan pendataan kelayakan masyarakat sebagai penerima, maupun alokasinya untuk tiap daerah di Indonesia. Sehingga kemudian pelaksanaan CSR dari berbagai perusahaan tersebut akan berada dalam satu kerangka yang sama dan akan menunjang kepentingan perkembangan ekonomi nasional yaitu untuk mengentaskan kemiskinan dan melakukan pemerataan distribusi pendapatan.

4 thoughts on “Zakat Mandiri&Berkelanjutan Perusahaan (ZMPB): Skema Pengentasan Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Sekaligus Bentuk Baru Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)

Leave a comment